Cahaya Bulan

Selasa, 31 Desember 2019

KALEIDOSKOP (Sepilihan Puisi)

Ricik air jatuh dan mengaduh di sepanjang jalan Lembang menuju Dago. Sekitar pukul 12 siang, waktu yang terlalu sibuk untuk sekedar menopang dagu dan mendengar lagu-lagu. Bandung baginya adalah kota yang romantis, bukan karena Milea dan Dilan yang saling mesra dalam imaji seorang Pidi Baiq, bukan menyoal keindahan pinus semata, atau malam yang selalu syahdu di sekitar alun-alun tempat hingar bingar memecah sunyi.
Bandung ialah puisi. Kala luruh gelak tawa seorang puan.
Kapan kita bertemu mata?
lagi.
Bandung, Desember 2018.



"Selamat Pagi", kataku.
Ia tersenyum dan makin bersinar
sesekali kulambaikan tangan pada cuaca

Pagi yang merdu, tentang-
aku yang lupa bangun pagi
tetapi ingin segera beranjak pergi -
menemuimu yang tinggal di keningku.

Bekasi, 3 Januari 2019.




Matamu, Mas. Ialah hujan tanpa mendung,
tak bisa kupaksa mencipta pelangi
merah, kuning,hijau, di mega-mega.

di matamu, Mas. Siapa aku?
kau larung rindu atau sepi yang luka?

Bekasi, 8 Februari 2019.






Suatu sore,ketika kutemukan mata
di bibir cangkir kopi,
tatapnya selalu begitu,
kaku dan dingin menyeluruh,
tak bicara,
juga mungkin tak berdera

ketika kutemukan mata-
di celah langit kota itu
ia hanya berdialog dengan buku-buku
sesekali membaca air wajahku.

Bekasi, 7 Maret 2019.



Senja mereda di pelupuk
ketika kutengok sepasang mata-
meranum dan menyiasati sendu
masih ingin kutanya; kapan ia tiba?
lagi.

Bekasi, 23 April 2019.






Suara-suara
tak terdengar, tetapi terbaca
di halaman buku tertulis suara-suara
di dinding tertulis suara-suara
di layar gawai tertulis suara-suara,
dari mana datangnya?
suara-suara itu berbisik; dari nyala jingga matanya
yang marah dan sedu

suara-suara itu meriap sunyi
di telingaku, di kepalaku
kutanya: bagaimana meredam suara itu?

Bekasi, 29 Juni 2019.




Bukan cuma Punggung ayam
bukan cuma, aku tahu
semua bagian ayam: mata, ekor, kaki, dan-
suara kokoknya
tetapi rasanya aku cuma tahu bagaimana-
punggungnya kunikmati
dengan cara memasak yang sama

Tanpa tahu resep lainnya.
Bekasi, 11 Agustus 2019.




Ketika temaram
sunyi menenangkan bunyi
dari deru suara mesin
suara anak-anak
suara ketuk sepatu perunut jalan

kulingkari sabit termenung di langit kota
membayang merdu air wajahmu
serupabinar yang terbelam
kutanya: bagaimana simpul senyummu
tinggal di langit itu?

ketika temaram
bunyi menenangkan sunyi.

Bekasi, 29 Desember 2019.





Berisi sepilahan puisi sejak Desember 2018-Desember 2019 yang ragu-ragu saya bagikan sebelumnya. Menutup akhir tahun 2019 saya putuskan untuk membagikan beberapa dari sekian banyak oretan yang saya buat di laman blog ini. Belajar menulis dan bercerita tidak mudah, tapi mari mulai!
Selamat Membaca!

Salam!


Sabtu, 21 Desember 2019

MAMA ITU SUKA MARAH-MARAH!

Menyebalkan kalau lagi asik bermain, mama selalu gak berhenti telepon; "Udah mau magrib,buruan pulang!", begitu kira-kira saya angkat teleponnya.
Menyebalkan tiap ingin keluar malam mama harus selalu ngomel dulu "ngapain sih keluar malam-malam, dari tadi ngapain aja?", atau "Jangan pulang lewat jam delapan", atau "Mau pergi ke mana? sama siapa? mama harus tau lah!"

Saya saat itu sempat merasa kesal sampai nangis-nangis karena merasa ruang gerak saya terlalu dibatasi oleh mama. (semasa SMP-SMA)

Hal lain yang paling saya ingat, pernah suatu ketika mama gak segan narik lengan saya kencang-kencang dengan semarah-marahnya. Bukan tidak beralasan mama begitu, saya yang masih nangis sesenggukan langsung didudukan di depan rehal (tempat menaruh Alquran yang hendak di baca), dengan intonasi tinggi mama bilang "Diam! mau jadi apa sih? diminta pulang, udahan dulu mainnya, disuruh ngaji kok susah! baca sekarang!" (saat itu saya masih menjadi siswa SD).
Pikiran saya sebagi anak-anak saat itu cuma tahu kalau mama gak sayang, mama galak, dsb.

Kuliah?
Jauh dari rumah mama sepenuhnya memberikan saya kepercayaan, tetapi tetap dengan kalimat mujarabnya "Fi, belajarnya yang benar, semua mama utamakan untuk keperluan fifi, jangan seenaknya walaupun mama gak bisa kontrol langsung"
saya yang sudah lebih dewasa, paham dan terbuka dengan sikap mama, mamaku asik kok! (begitu menenangkan diri)

Juga saya selalu ingat mama yang seringkali bilang "Mama tuh gak ngelarang anak-anak mama mau ngapain aja, tapi kita harus tau batasan, juga nih kepentingan diri sendiri, jangan mentang-mentang semua kebutuhan dicukupi malah jadi gak punya tanggung jawab. tetap harus! belajar hidup perihatin" (saya manut-manut saja)

sudah kerja?
"Mama gak minta apa-apa, cukup fifi tanggung jawab dengan diri sendiri, mandiri,"

Lagi-lagi menjenuhkan mendengar petuah-petuah semacam itu, tetapi harus selalu saya dengar setiap saat. Menyebalkan?
Tidak! saya paham sekarang kenapa mama harus begitu, saya malah bersyukur mama sangat bawel dan cerewet. Sebagai anak perempuan tentu kecenderungan saya tidak bisa jadi apa-apa lebih banyak peluangnya (stereotip), tetapi lagi, mama yang menuntun saya dengan sangat hati-hati, katanya "Jadi perempuan itu harus cerdas, mandiri, yang paling penting akhlak. Percuma cerdas, sekolah tinggi, kalau akhlaknya buruk, mama gak bangga".
Cukup samapai di situ?
Tentu tidak, mama masih bawel kok, masih marah-marah.
Tapi lucu. (loh?)

Tentu saya rasakan cerita ini sangat menggebu-gebu, saya tidak tahu bagaimana cara lagi untuk mengucapkan "Selamat Hari Ibu" selain daripada mengingat petuah-petuahnya yang selalu saya jadikan acuan hingga saat ini.
Sekarang saya sudah paham, kamu?
jangan terlambat paham! 

Btw, mamaku asik, kadang-kadang suka receh (gak paham kenapa). HAHA.

*Percakapan pagi menjelang siang tadi*
F   : Ma, selamat hari ibu. Mama mau apa?
M : Tas udah banyak, semua masih ada.
F   : Terus?
M : Yaudah sepatu karet
F  : Kok sepatu karet,kan ada yang bagus.
M : Mama sukanya pake itu
((musim hujan))
.........................................

(Uangnya tabung buat kuliah aja).


Bekasi, 22 Desember 2019.

Note: Saya bosan buat puisi untuk mama, gak dibalas melulu. wkwk 

Selasa, 17 Desember 2019

Pulang.

Pulanglah padanya
menelusuri jalan yang ragu-ragu
dan bayang-bayang,
supaya bisa kau kalahkan sepi yang purba
sedia memunguti jejak-jejak langkah
bungah

Pulanglah padanya,
pandangi langit yang mega
supaya bisa kaukalahkan duka
sedia berdiam di tugu tunggu

Pulang.
Bekasi, Desember 2019.

Potret.

Sebuah potret dan aksara
teduh dan merinai
dari jemariku jemarimu, memanggil-manggil
merdu dari celah langit yang-
menghubungkan ricik rindu,
antara matamu mataku

Bekasi, Desember 2019.