Cahaya Bulan

Selasa, 30 Juni 2020

Suara #Kupukupu (kutipan Puisi)


Berisi kutipan puisi yang mungkin belum sempat terbit di laman blog ini. Puisi-puisi saya kumpulkan dari draf pribadi dan media sosial yang sudah tidak aktif. Semoga suara #kupukupu ini konsisten meramaikan laman blog ini. Hehe



#Kupukupu-1

Syahdu yg kau lukis pada kemarau
Nian merdu suaranya
Kalau kah rindu tak terarah
Sudut- sudut bibirmu
Kuncup seketika.

Bekasi, Agustus 2017.



#kupukupu-2

Lihat! Satu, dua, tiga burung terbang
melukis di langit

Si belalang tinggal merenung
di bawah rindang bulan,
ia berusaha keras mengingat-
arah rindu berpulang.

Bekasi, Juli 2017.



#kupukupu-3

Aduh!
Matamu, Mas.
seringai bulan malam tadi.

Bekasi, Desember 2016.

  

Siapa Itu?

Dari bingkai jendela
langit menyungging senyum berkali-kali
mengurai renjana kepada-
sepasang mata yang lekat mengamati.

Siapa itu?
wajah yang sembunyi
di balik awan senja.

Bekasi, Juni 2020. 

Wajah Bulan

Wajah bulan tertidur
di mata perempuan
ia tidak tahu bagaimana-
merapal mantra lara
bibirnya pasi,
tetapi suara sudah bising
di telinga, membisiki;
" ............."

(Ssstt, rahasia)

Bekasi, Juni 2020. 

Sabtu, 20 Juni 2020

Ulasan Karya Sastra (Sistem Kasta dan Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Bali - Tarian Bumi - Oka Rusmini



Oka Rusmini adalah seorang penulis perempuan yang sangat jeli dalam melihat fenomena sosial-budaya, sehingga dalam karyanya Tarian Bumi, Oka banyak menampilkan  kondisi sosial-budaya masyarakat Bali yang sesungguhnya. Penulis menceritakan mengenai kehidupan Bali yang penuh dengan aturan adat budaya yang kaku. Terutama pada sistem kasta yang berlaku, adapun sistem kasta yang dikenal pada masyarakat Bali, yaitu terdiri dari : kasta Brahmana, yang merupakan kasta pada tingkatan tertinggi, yakni golongan pendeta. Kasta Ksatria, yaitu merupakan golongan para bangsawan. Waisya, adalah golongan para pedagang. Dan, yang paling rendah adalah kasta Sudra, yaitu terdiri dari para petani. 
Tarian Bumi, merupakan novel yang menyuguhkan berbagai cerita menarik tentang perempuan dan kaitannya dengan sistem kasta yang mengikat dan jarang diketahui oleh sebagian orang. Kehidupan tokoh perempuan dalam novel ini merupakan sebuah gambaran yang sebenarnya dari kehidupan para perempuan Bali. Oka Rusmini, dalam novel ini membuat suatu kritik sosial atas adanya pengkotak-kotakan dan praktik budaya yang merugikan perempuan dalam kehidupan masyarakat Bali, bahwasanya dengan adanya sistem kasta yang mengikat tidak lantas membuat sebagian orang meraskan hidup yang bahagia, bahkan ketika seseorang tersebut berada pada kasta tertinggi sekalipun, yaitu Brahmana. Seperti yang dialami oleh tokoh utama dalam cerita, yaitu Telaga.
Telaga, mengalami dilema dalam sebuah pilihan hidup. Telaga sebagai perempuan Brahmana, harus berani mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Yaitu, ia memilih untuk menikah dengan Wayan (lelaki sudra) atau menikah dengan laki-laki yang juga berasal dari kasta Brahmana. Konsekuensinya adalah Telaga akan turun kasta jika ia memilih menikah dengan Wayan, dan sudah tentu ia sudah tidak lagi bagian dari keluarga Griya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang sangat terlihat jelas antara kasta Brahmana dan Sudra. Bahwa seseorang dengan kasta Brahmana tidak boleh bersosialisasi secara dekat dengan orang-orang yang berkasta Sudra. Hal demikian terlihat pada teks novel Tarian Bumi, dalam kutipan berikut:
Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu. Cucuku seorang Brahmana, bukan Sudra. Bagaimana kamu ini! kalau sering kau bawa pulang ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar kebangsawanan. Kau mengerti, kenanga! Suara mertuanya terdengar melengking. Sekar terdiam.(hlm.61)
Berdasarkan kutipan tersebut, Sekar seorang perempuan Sudra yang naik kasta menjadi Brahmana, dilarang untuk membawa anaknya mengunjungi keluarga Luh Sekar yang merupakan golongan Sudra. Berarti terdapat jarak yang sangat jauh antara kedua kasta tersebut dan tidak bisa lagi diubah.
Berbicara mengenai sistem kasta yang berlaku pada masyarakat Bali jika dikaitkan dengan kehidupan sosial. Tidak semua masyarakat Bali dapat mersakan kebahagiaan hidup atau bahkan meraskan keadilan. Seperti halnya tokoh Luh Sekar (perempuan Sudra) yang harus merelakan untuk meninggalkan keluarganya karena ia menikah dengan seorang laki-laki Brahmana. Sekar harus mengorbankan segala hal yang ia punya, termasuk ia harus kehilangan kebiasaan-kebiasaan lamanya. Kesakitan yang dialami oleh Sekar, dapat terlihat pada teks sebagai berikut:
Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia juga harus meninggalkan semua yang perah membesarkannya.(hlm.54)
Setiap pulang ke rumah asalnya, Sekar harus berubah sikap. Orang-orang yang berada di rumahnya harus hormat. Sekar jadi kikuk.(hlm.56)
Demikian, yang terjadi pada hidup Luh Sekar. Hidupnya terikat oleh aturan-aturan adat budaya kaum Brahmana yang sangat angkuh. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial lainnya yang diraskan oleh kaum perempuan atas praktik budaya yang mengikat, digambarkan oleh Oka pada beberapa kasus yang dialami oleh perempuan Bali, seperti tokoh Kenten, yang begitu membenci laki-laki. Karena, pada umumnya dalam masyarakat Bali yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah kaum perempuan, sedangkan laki-laki hanya bersantai diri di rumah dan melakukan kesanangan mereka saja. Seperti pada kutipan berikut:
Aku hanya tidak senang gunjingan laki-laki yang duduk santai di kedai kopi setiap pagi. Sementara aku harus kerja keras, kaki mereka terangkat di kursi. Tubh mereka hanya tertutup kain yang begitu lusuh. Para laki-laki itu, aku yakin belum mandi. Aneh sekali tingkah mereka. Setiap hari dari pagi samapai siang hanya duduk dan mengobrol. Mata mereka begitu liar serta sering menggodaku. Rasanya, aku ingin melempar kayu bakar ke mata mereka.(hlm32-33)

Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa Oka mencoba untuk mengkritisi Lelaki Bali yang pekerjaannya hanya bersantai-santai saja, sedangkan perempuan harus bekerja keras dan bersusah payah. Hal ini dapat disimpulkan, bahwa seharusnya seorang laki-laki mampu bertanggung jawab dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak hanya bergantung pada penghasilan perempuannnya. Kemudian, kutipan lain yang dapat memberi sebuah penjelasan tentang Bali sesungguhnya adalah sebagai berikut:

Perempuan Bali itu, Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup, dan harus tetap hidup.(hlm.25)
Maka, jelas sekali lagi-lagi Oka menguak tentang realita Bali yang seesungguhnya. Pulau yang dikenal dengan keindahannya ternyata menyimpan kesakitan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuannya. Bali dengan sistem kasta juga sangat membatasi langkah yang harus diambil oleh masyarakatnya dalam menjalani sebuah pilihan hidup.
Oka Rusmini dalam Tarian Bumi membuat suatu gambaran kehidupan sosial Bali dengan adanya tokoh-tokoh perempuan yang berkali-kali mengalami kesakitan. Seperti pada akhirnya Telaga harus melepaskan status Brahmananya dan menjadi perempuan Sudra karena memilih hidup dengan laki-laki Sudra. Luh Sekar yang harus merelakan untuk kehilangan kebiasaan-kebiasaan lamanya dan berjarak dengan keluarganya karena memilih untuk menikah dengan laki-laki Brahmana. Kenten, seorang perempuan Sudra yang memilih untuk hidup tanpa laki-laki, karena ia menganggap bahwa laki-laki pada masyarakat Bali tidak bisa bertanggung jawab dan hanya mampu bergantun pada perempuan.
Demikian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Bali. Dengan adanya kritik sosial yang dilakukan oleh Oka dalam novelnya Tarian Bumi, ia dinobatkan sebagai “Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Indonesia. Karena, dengan sangat apik ia mengungkapkan fakta-fakta yang jarang diketahui oleh masyarakat di luar Bali.


Bagaimana usai membaca ulasan karya ini? 
tertarik untuk membaca keseluruhan isi novelnya? 

Ulasan Karya Sastra (Abdoel Moeis dengan Salah Asuhan).




Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi sosial masyarakat Melayu Minangkabau melalui setting dan penokohan dalam roman Salah Asuhan dan kaitannya dengan kehidupan pengarang. 
Abdoel Moeis dalam roman Salah Asuhan menyuguhkan kehidupan sosial dan adat istiadat antara Pribumi dan orang-orang berkebangsaan Belanda. Moeis juga menggambarkan perjalanan cinta Hanafi sebagai seorang pribumi dengan Corrie seorang perempuan berkebangsaan Belanda yang banyak mengalami rintangan karena adanya batasan-batasan yang menjadi permasalahan pada saat itu.
Hanafi sejak kecil sudah diasuh oleh keluarga keturunan Belanda, sebab ayahnya sudah meninggal sejak ia kecil. Maka ibunya berusaha dengan keras untuk tetap menyekolahkan Hanafi dan juga menitipkannya kepada keluarga keturunan Belanda agar dekat dengan HBS di Betawi, yaitu tempat Hanafi bersekolah. Sejak kecil Hanafi diasuh oleh keluarga Belanda, maka pergaulan Hanafi pun tidak lepas dari pergaulan orang-orang Belanda, sehingga tidak heran jika tingkah Hanafi menjadi keberat-baratan atau bahkan melebihi orang Belanda itu sendiri.
Hanafi jatuh cinta kepada Corrie, namun cintanya tak terbalaskan karena Corrie merasa takut akan terasingkan oleh keluarganya jika mempunyai hubungan dengan Hanafi. Sehingga pada akhirnya Hanafi dijodohkan dengan Rapiah seorang perempuan pribumi yang berperangai halus, Hanafi menikah dengan Rapiah dan memiliki seorang anak bernama Syafei. Namun, Hanafi tidak berlaku sebagaimana mestinya, Hanafi tidak memperlakukan Rapiah sebagai seorang istri, melainkan sebagai seorang pembantu yang melayani Hanafi dan teman-teman Belandanya ketika sedang berkumpul. Hingga pada suatu hari Hanafi bertemu kembali dengan Corrie dan menikah dengan meninggalkan Rapiah dan anaknya. Namun, pernikahan Hanafi dan Corrie tidak berlangsung lama, mereka bercerai karena Hanafi menuduh Corrie berzina. Perceraian dan meninggalnya Corrie karena penyakit Kholera membuat Hanafi merasa stres dan menelan 6 butir sublimat yang menjadi sebab meninggalnya Hanafi.
Abdul Moeis sebagai seorang sastrawan banyak membuat karangan yang bersifat sosial dan politik sejak ia aktif dalam bidang jurnalistik, pada awalnya ia hanya menulis pada surat kabar De Ekspress untuk mencurahkan segala bentuk pemberontakannya terhadap kepincangan pemerintahan Belanda, hingga akhirnya ia menulis sebuah roman Salah Asuhan sebagai penyalur keresahan hatinya.
Salah Asuhan sebagai salah satu roman yang terbit pada tahun 1928 oleh Balai Pustaka menjadi karya sastra yang terkenal dengan gaya bahasanya yang halus dan memikat hati pembaca, karya tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, diantaranya adalah bahasa Rusia dan Cina. Namun, naskah Salah Asuhan banyak mengalami perubahan terhadap naskah aslinya, hal demikian karena situasi sosial saat itu menuntut Moeis untuk menciptakan karya sastra yang tidak memuat unsur pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda.
Penggambaran situasi sosial politik tersebut ada pada akhir cerita, yaitu ketika Moeis menceritakan bahwa Corrie Du Busse meninggal karena penyakit kholera. Berkenaan dengan hal ini, dalam roman Salah  Asuhan karya Abdul Moeis konon dalam naskah aslinya yang dikarang penulis, Corrie Du Busse adalah perempuan Indo Belanda yang kemudian mati karena penyakit kelamin bukan penyakit kholera (penyakit menular dari saluran pencernaan). Perubahan tersebut dilakukan agar tidak merendahkan derajat orang Belanda dan  karena pada masa itu segala bentuk karya sastra yang ingin diterbitkan oleh Balai Pustaka tidak boleh mengandung unsur pemberontakan atau segala hal yang bersifat merendahkan bangsa Belanda. Hampir semua novel-novel Balai Pustaka senantiasa memunculkan tokoh mesias atau dewa penolong yang merupakan tokoh Belanda, sedangkan orang-orang pribumi digambarkan sebagai tokoh yang kejam, tidak adil, dan tukang menikah. Seperti halnya Hanafi tokoh utama dalam novel Salah Asuhan yang bertindak kejam kepada istrinya Rapiah dan kemudian menikahi lagi perempuan lain bernama Corrie. 
Pernyataan di atas juga disebutkan dalam buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia yang ditulis oleh Yudiono, yakni Salah Asuhan yang terbaca masyarakat ternyata tidak sama benar dengan teks asli yang berada dalam naskah pengarang Abdul Moeis karena ada campur tangan redaksi Balai Pustaka yang mengubah bagian-bagian tertentu sesuai dengan pandangan penerbit.Seperti juga dituliskan dalam sebuah buku biografi Abdul Moeis, yaitu:

“Sebenarnya isi buku itu agak berbeda dengan naskah aslinya. Perubahan itu terdapat dibagian akhir. Perubahan itu sengaja dilakukan oleh redaksi Balai Pustaka. Maksudnya ialah untuk menjaga nama baik bangsa Belanda. Bagian yang diubah itu ialah mengenai nasib Corrie, si gadis Belanda. Dalam buku Salah Asuhan diceritakan Corrie meninggal karena setelah cintanya putus. Tetapi yang sebenarnya ia meninggal karena bunuh diri setelah menjadi pelacur akibat kegagalan cintanya.

Salah Asuhan dijadikan sebagai politik kolonial bangsa belanda, yang sudah sangat jelas sekali diceritakan dalam novel ini bahwa tokoh Hanafi orang Bomeipoetra merupakan tokoh yang kejam, tidak adil, dan suka menikah, dan juga digambarkan bahwasanya bangsa pribumi adalah bangsa yang bodoh, sedangkan bangsa Belanda adalah yang lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan bangsa pribumi.

     (Luthfifi)


Pada Pertemuan.

Di meja perjamuan
dihidangkan segala rupa kata
yang bermacam kisahnya

kepada pelayan;
waktu itu aku memesan renjana yang-
dihidangkan dengan hangat seulas
senyum,
kau memesa apa, tak tahu
tetapi tak sabar meneguk air wajah bulan.

Bekasi, Mei 2020.

BACA PUISI INI DENGAN SAKSAMA!

Bingung.

Pertanyaan yang sulit terjawab;
"Mengapa kata dasar rindu-
selalu memiliki subjek aku
dan diikuti objek kamu?"

Bekasi, April 2020.



Ulasan Karya Sastra (Pesan dari Ayah)


Pesan dari Ayah 

Datang menjelang petang, aku tercengang melihat  
Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam 
di bawah pohon sawo di belakang rumah.
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam 
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian 

“Jangan gangu suamiku,” Ibu cepat-cepat  
meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar 
Menulis dan mengirim pesan untuk Ibu. 
Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.” 

Ketika pamit hendak ke Jakarta 
aku sempat mohon kepada ayah dan bunda 
agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar 
mengabarkan keadaan,supaya pikiranku tenang 

Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah malam 
telepon genggamku terkejut mendapat kiriman 
pesan dari Ayah, bunyinya “Sepi makin modern.” 

Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung: 
“Lagi berduaan dengan Ibumu di bawah pohon sawo 
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan. 
Berempat dengan telepon genggam. Balas!” 

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
 puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis 
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan 
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu 
dan membaringkannya di ranjang Ibu. 

Joko Pinurbo, 2005. 

Puisi Pesan dari Ayah ditulis oleh Joko Pinurbo pada tahun 2005, pada tulisan ini saya sajikan analisis semantik Todorov dengan menghubungkan isi pada setiap baitnya.
Pada bait pertama menggambarkan suasana keheningan pada petang hari ketika ayah asik dengan telepon genggam yang  dibelikan oleh ibu untuk meredam kesepiannya. Petang adalah suasana sore hari 
yang menenangkan di mana segala kesibukan baru berakhir. 
Pada larik berikut: 

 Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam 
sebab ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian 

Larik di atas secara tersirat dan konotatif memberikan gambaran tentang tidak adanya komunikasi yang terjalin antara ibu dan ayah, mereka hidup bersama tetapi telepon genggam lebih menarik perhatian ibu, sehingga ayah menjadi tak ada teman bicara, maka ibu membelikan telepon genggam supaya kesepian tak lagi dirasakan oleh ayah. 

Pada bait kedua merupakan penjelasan dari bait pertama mengenai ayah yang sedang berusaha menulis dan mengirim pesan untuk ibu, seperti sebuah metafor, bahwa hidup serumah pun ayah harus belajar berkirim pesan untuk bisa menjalin komunikasi dengan ibu. Hal ini seolah mengingatkan pembaca, bahwa telepon genggam sudah menjadi candu, bahkan mengalahkan semua kepentingan keluarga dan menjauhkan yang dekat.  

Bait ketiga menggambarkan kepergian seorang anak yang pamit ke Jakarta dan meminta orang tuanya untuk selalu memberi kabar. Menunjukan suatu kekhawatiran yang dirasakan sang anak akan kesepian yang mungkin mendera ayah setelah ia pergi meninggalkan rumah.  Kemudian pada bait ke-4 merupakan perwujudan dari keberhasilan ayah belajar menulis dan mengirim pesan, ia mengirim pesan kepada anaknya pada tengah malam dengan kalimat “Sepi makin modern”, hal tersebut lagi-lagi menggambarkan kesunyian yang dirasakan, telepon genggam merupakan simbol modern itu sendiri. Segala hal yang ramai ada di dalam benda itu. Sedangkan ayah yang merasa kesepian, ia mencari keramaian pada telepon genggam yang dibelikan ibu untuk memenuhi hasratnya dapat bercengkrama dengan keluarga. Pun makna lainnya adalah telepon genggam mempunyai pengaruh terhadap perubahan perilaku yang menjadikan orang-orang mengabaikan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut dijelaskan pada bait ke-5, seperti berikut: 

Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:
“Lagi berduaan dengan Ibumu di bawah pohon sawo
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!” 

Larik-larik diatas merupakan gambaran tentang keheningan yang terjadi antara ayah dan ibu, keduanya bersama tetapi tak berbagi cerita. mereka hanya menikmati saja bulan yang benderang di atasnya. 

Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu. 

Bait di atas merupakan ingatan seorang anak akan masa kecilnya saat ia menulis sebuah puisi pertama kali. Mengingat tentang kehangatan hubungan ayah dan anak kala itu yang hampir tidak ia rasakan lagi setelah beranjak dewasa. Maka puisi ini merupakan narasi tentang kehidupan seorang anak, Ayah, dan Ibunya. 

Puisi Pesan dari Ayah memiliki tema yang menarik untuk dinikmati pembacanya dan yang paling menonjol pada puisi ini sehingga menjadi penting dibaca karena ditulis dalam kurun waktu tahun 2000 an, zaman di mana teknologi terutama telepon genggam menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari bahkan selalu dalam genggaman.
Pembaca akan bisa merasakan metafor yang digunakan Jokpin pada bait-bait puisinya, sehingga pembaca bisa merasakan pengalaman tersebutdengan cara berbeda-beda setiap dua atau tiga kali membaca ulang puisitersebut. Kemudian, jika melihat strukturnya, puisi Pesan dari Ayah termasuk ke dalam genre naratif karena di setiap baitnya berisi cerita dengan kronologi suatu peristiwa dan disertai tokoh yang dikenai peristiwa tersebut. Dalam hal ini yaitu tokoh aku, ayah, dan ibu dengan kronologi cerita yang bertemakan kesepian atau kesunyian.