Oka Rusmini adalah
seorang penulis perempuan yang sangat jeli dalam melihat fenomena
sosial-budaya, sehingga dalam karyanya Tarian
Bumi, Oka banyak menampilkan kondisi
sosial-budaya masyarakat Bali yang sesungguhnya. Penulis menceritakan mengenai
kehidupan Bali yang penuh dengan aturan adat budaya yang kaku. Terutama pada
sistem kasta yang berlaku, adapun sistem kasta yang dikenal pada masyarakat Bali,
yaitu terdiri dari : kasta Brahmana, yang merupakan kasta pada tingkatan
tertinggi, yakni golongan pendeta. Kasta Ksatria, yaitu merupakan golongan para
bangsawan. Waisya, adalah golongan para pedagang. Dan, yang paling rendah
adalah kasta Sudra, yaitu terdiri dari para petani.
Tarian
Bumi, merupakan novel yang menyuguhkan berbagai cerita menarik tentang
perempuan dan kaitannya dengan sistem kasta yang mengikat dan jarang diketahui
oleh sebagian orang. Kehidupan tokoh perempuan dalam novel ini merupakan sebuah
gambaran yang sebenarnya dari kehidupan para perempuan Bali. Oka Rusmini, dalam
novel ini membuat suatu kritik sosial atas adanya pengkotak-kotakan dan praktik
budaya yang merugikan perempuan dalam kehidupan masyarakat Bali, bahwasanya
dengan adanya sistem kasta yang mengikat tidak lantas membuat sebagian orang
meraskan hidup yang bahagia, bahkan ketika seseorang tersebut berada pada kasta
tertinggi sekalipun, yaitu Brahmana. Seperti yang dialami oleh tokoh utama
dalam cerita, yaitu Telaga.
Telaga,
mengalami dilema dalam sebuah pilihan hidup. Telaga sebagai perempuan Brahmana,
harus berani mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Yaitu, ia
memilih untuk menikah dengan Wayan (lelaki sudra) atau menikah dengan laki-laki
yang juga berasal dari kasta Brahmana. Konsekuensinya adalah Telaga akan turun
kasta jika ia memilih menikah dengan Wayan, dan sudah tentu ia sudah tidak lagi
bagian dari keluarga Griya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa terdapat
perbedaan yang sangat terlihat jelas antara kasta Brahmana dan Sudra. Bahwa
seseorang dengan kasta Brahmana tidak boleh bersosialisasi secara dekat dengan
orang-orang yang berkasta Sudra. Hal demikian terlihat pada teks novel Tarian Bumi, dalam kutipan berikut:
Jangan kau bawa cucuku ke rumahmu. Cucuku
seorang Brahmana, bukan Sudra. Bagaimana kamu ini! kalau sering kau bawa pulang
ke rumahmu, cucuku tidak akan memiliki sinar kebangsawanan. Kau mengerti,
kenanga! Suara mertuanya terdengar melengking. Sekar terdiam.(hlm.61)
Berdasarkan kutipan tersebut, Sekar seorang perempuan Sudra yang
naik kasta menjadi Brahmana, dilarang untuk membawa anaknya mengunjungi
keluarga Luh Sekar yang merupakan golongan Sudra. Berarti terdapat jarak yang
sangat jauh antara kedua kasta tersebut dan tidak bisa lagi diubah.
Berbicara mengenai sistem kasta yang berlaku pada masyarakat Bali
jika dikaitkan dengan kehidupan sosial. Tidak semua masyarakat Bali dapat
mersakan kebahagiaan hidup atau bahkan meraskan keadilan. Seperti halnya tokoh
Luh Sekar (perempuan Sudra) yang harus merelakan untuk meninggalkan keluarganya
karena ia menikah dengan seorang laki-laki Brahmana. Sekar harus mengorbankan
segala hal yang ia punya, termasuk ia harus kehilangan kebiasaan-kebiasaan
lamanya. Kesakitan yang dialami oleh Sekar, dapat terlihat pada teks sebagai
berikut:
Setelah disunting
secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus
meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi
Jero Kenanga, dia juga harus meninggalkan semua yang perah membesarkannya.(hlm.54)
Setiap pulang ke
rumah asalnya, Sekar harus berubah sikap. Orang-orang yang berada di rumahnya
harus hormat. Sekar jadi kikuk.(hlm.56)
Demikian, yang terjadi pada hidup Luh Sekar. Hidupnya terikat oleh
aturan-aturan adat budaya kaum Brahmana yang sangat angkuh. Ketidakadilan dan
kesenjangan sosial lainnya yang diraskan oleh kaum perempuan atas praktik
budaya yang mengikat, digambarkan oleh Oka pada beberapa kasus yang dialami
oleh perempuan Bali, seperti tokoh Kenten, yang begitu membenci laki-laki.
Karena, pada umumnya dalam masyarakat Bali yang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan hidup adalah kaum perempuan, sedangkan laki-laki hanya bersantai diri
di rumah dan melakukan kesanangan mereka saja. Seperti pada kutipan berikut:
Aku hanya tidak
senang gunjingan laki-laki yang duduk santai di kedai kopi setiap pagi.
Sementara aku harus kerja keras, kaki mereka terangkat di kursi. Tubh mereka
hanya tertutup kain yang begitu lusuh. Para laki-laki itu, aku yakin belum
mandi. Aneh sekali tingkah mereka. Setiap hari dari pagi samapai siang hanya
duduk dan mengobrol. Mata mereka begitu liar serta sering menggodaku. Rasanya,
aku ingin melempar kayu bakar ke mata mereka.(hlm32-33)
Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat jelas bahwa Oka mencoba
untuk mengkritisi Lelaki Bali yang pekerjaannya hanya bersantai-santai saja,
sedangkan perempuan harus bekerja keras dan bersusah payah. Hal ini dapat
disimpulkan, bahwa seharusnya seorang laki-laki mampu bertanggung jawab dan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak hanya bergantung pada
penghasilan perempuannnya. Kemudian, kutipan lain yang dapat memberi sebuah
penjelasan tentang Bali sesungguhnya adalah sebagai berikut:
Perempuan Bali itu,
Luh, perempuan yang tidak terbiasa mengeluarkan keluhan. Mereka lebih memilih
berpeluh. Hanya dengan cara itu mereka sadar dan tahu bahwa mereka masih hidup,
dan harus tetap hidup.(hlm.25)
Maka, jelas sekali lagi-lagi Oka menguak tentang realita Bali yang
seesungguhnya. Pulau yang dikenal dengan keindahannya ternyata menyimpan
kesakitan dan ketidakadilan yang dirasakan oleh kaum perempuannya. Bali dengan
sistem kasta juga sangat membatasi langkah yang harus diambil oleh
masyarakatnya dalam menjalani sebuah pilihan hidup.
Oka Rusmini dalam Tarian Bumi membuat suatu gambaran kehidupan
sosial Bali dengan adanya tokoh-tokoh perempuan yang berkali-kali mengalami
kesakitan. Seperti pada akhirnya Telaga harus melepaskan status Brahmananya dan
menjadi perempuan Sudra karena memilih hidup dengan laki-laki Sudra. Luh Sekar
yang harus merelakan untuk kehilangan kebiasaan-kebiasaan lamanya dan berjarak
dengan keluarganya karena memilih untuk menikah dengan laki-laki Brahmana.
Kenten, seorang perempuan Sudra yang memilih untuk hidup tanpa laki-laki,
karena ia menganggap bahwa laki-laki pada masyarakat Bali tidak bisa
bertanggung jawab dan hanya mampu bergantun pada perempuan.
Demikian yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Bali. Dengan
adanya kritik sosial yang dilakukan oleh Oka dalam novelnya Tarian Bumi, ia dinobatkan sebagai “Penerima
Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003” dari Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia. Karena, dengan sangat apik ia mengungkapkan
fakta-fakta yang jarang diketahui oleh masyarakat di luar Bali.
Bagaimana usai membaca ulasan karya ini?
tertarik untuk membaca keseluruhan isi novelnya?
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.biz...^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856