Cahaya Bulan

Selasa, 30 Desember 2014

Curut atau Marmut?
Oleh, Fifi Luthfi AR

Lumat-lumat ku perhatikan gambaran imut bagai marmut
terbingkai dapih dalam balut
di kecup lembut malah cemberut
kecil, lincah bak curut atau marmut?

Bekasi, 30 Desember 2014

Kamis, 25 Desember 2014



Kau bilang, Kau Sayang
Oleh: Fifi Luthfi AR, Anisa Rahayu, Arini H, Ferrara Ferro, dan Sukmawati

Kaubilang, kau sayang…
Tapi kau biarkan aku seperti gelandang
yang tinggal tulang.

Angin berhembus kencang
menakutkan hati yang bimbang.
Getarkan cinta penuh gelombang,
membiaskan diri pada karang.

Kaubilang, kau sayang…
Tapi rinduku tak kau bilang.
Seperti tulang belulang,
kau buang ke dasar jurang.

Tulang belulang terpisah dari daging yang menyarang,
hadirnya tak akan pernah lekang.
Rupanya suci bak warna cinta
untukmu yang tersayang.

Kaubilang, kau sayang…
Aku harus menanggung sakit yang berulang,
sedang kau hilang sejak kau bilang pulang.
Dan aku terus meradang meski tinggal tulang belulang.

Burung-burung serta belalang
jua sadis menyantap dengan garang.
Bahkan barisan semut siap menyerang.
Sungguh malang si tulang belulang.
Kemudian anjing-anjing hutan
mencabik tulangku hingga tak bersisa,
sedang kau riang
bersahaja bersua.

Kaubilang, kau sayang…
Sejak kau pulang tanpa bilang,
ada yang tersayat dalam-dalam.
Sejak tulang remuk dimakan belalang,
ada kecewa tak berbilang,
sudah cukup membuat berang.

Katamu…
“Sakitmu menjalar hingga terasa kepayang.
Lukamu dalam bagai ditusum kerang.
Kala itu aku bukannya pulang,
tapi aku merindunya. Cintaku yang kusayang.”

Serasa lengan hendak meraih parang,
menikam hati yang bergelut perang.
Adakah lagi uraian sayang pada jiwanya yang (masih) bimbang?

Aku tak main-main mulai sekarang.
Jika bimbang masih bersarang, pulang saja kau tanpa berjuang!
Bawa parang dan kau hunus cintaku sekali tumbang!

Pada yang bimbang tak kubiarkan harapan menyarang.
Meski padanya asa terus berkembang.
Tapi tikaman terakhirnya dengan parang,
membuat sakit sampai belulang.

Kaubilang, kau sayang…
Di malam bertabur bintang akankah kau nodai dengan adanya perang?
Tidakkah kau menginginkan untuk bertahan dan berjuang?

Masa bodo kau anggap aku jalang,
sebab bicara terlalu lantang.
Baik kau bilah aku dengan parang
daripada perlahan kau buat aku mati malang.

Padahal…
kau tikam berulang dengan parang pun aku takkan garang,
sebab aku terlampau sayang.

Kaubilang, kau sayang…
Kau sayang sungguh malang, tak bisa binasakan rasa bimbang.
Andai kau pejuang, harus kau pilih yang kau sayang.
Bukan bermain dalam jurang.
Kau mabuk kepayang.

Ciputat, 10 Desember 2014

Senin, 15 Desember 2014


GURAU
Oleh, Fifi Luthfi AR

Nyanyian alam berseloroh pekik di telinga
lembut angin menampar daun di depan beranda
masih tergugu wajah pasi mencari tanda
sebab lalu tak kutemui lagi cerita

ada yang bertanya
mengapa kau membawaku berjalan dalam hujan
menangkap mataku, dan lalu memberi setumpuk duka
semua orang datang menghakimi. tentangnya.
PALSU!

Sewaktu itu kau sentuh sukmaku
serasa terdengar nyanyian surga mengudara dalam ruang
kau gengam dalam keragu-raguan
GURAUAN!

Kau beri kekuatan
sebab kau percaya aku adalah sebenar-benarnya aku
kau pulungi keping bekas terhunus panah
LUCU!

Sayang, kau perlu dengar
aku, atau kau tak bisa menghabiskan hidup untuk menyesali kenyataan
BANGUN SAYANG!

Bekasi, 14 Desember, 2014

Berlayar!
Oleh, Fifi Luthfi AR

Sebab rindu hanya dapat ku rasa
membersamaimu menjadi tak lagi wajar
kau berlayar ke barat dan aku ketimur.

dengan menyebut nama Allah
Bekasi, 11 Desember 2014

Minggu, 30 November 2014

PUISI 5W+1H
Oleh, Fifi Luthfi AR

Aku bertanya, sebab APA kita tak padu?
Aku bertanya, sebab SIAPA hunian tak lagi syahdu?
Aku bertanya, MENGAPA kita karam ditengah berlabuh
Aku bertanya, DIMANA rindu juga benalu yang membatasi ruang dalam kalbu?
Aku bertanya, KAPAN batu lebur menjadi abu?
Aku bertanya, BAGAIMANA kau tahu aku tahu?

Bekasi, 28 Nopember 2014

SEMPAT DAHULU
Oleh, Fifi Luthfi AR

Kita sempat berteduh saat rinai
menyimpul senyum dalam damai 
berkisah rindu tak jua usai
pada langit malam sajak berjuntai
dahulu sebelum terbengkalai

juga kita pernah berlagu meski samar
menarikan jemari diatas meja putar
bermelodi tanpa gitar
terus begitu walau sukar
dahulu sebelum gusar

Bekasi, 29 November 2014
GERIMIS MENANGIS
Oleh, Fifi Luthfi AR

kau jangan menangis sebab gerimis 
kau tahu hidup itu manis
seperti kopi dengan pemanis, begitupun kau dengan kisah tragis
lupakan dengan senyum termanis

Bekasi, 29 November 2014




CUKUP
Oleh, Fifi Luhfi AR

kendati ku rindu kau
tetapi tak lagi sama terpukau
sebab kau tak lagi terjangkau 
juga waktu yang tak boleh terulang untuk lagi bergurau

Bekasi, 30 November 2014

Sayang...

Oleh: Fifi Luthfi AR, Anisa Rahayu, Arini H, Ferrara Ferro, dan Sukmawati
Aku tersisih diantara diksi,
terperangkap pada sesal karena tak turut berdiskusi.
Dan kini aku tak diajak untuk turut memadukan diksiku diantara puisi.
Rasanya sesal menyeruak seketika kudengar larikku melayang dihempas gerimis,
terkatup pula kalimat asmara yang sempat kutitipkan mesti tak lagi manis.
Bukan maksudku untuk mangkir, Sayang
larik-larik puisimu telah lama kukenang,
menanti cintanya mengawang,
namun aku terkatung tanggung yang menyarang.
Terima kasih.
Kamu yang memunguti diksiku setelah terbuang.
Lalu dibawa terbang melayang.
Dan kalian ini aku kepayang,
terbayang kamu yang tersayang.
Sayang aku tak lihat apa yang tayang.
Aku terpaksa hilang demi dia yang kusayang.
Bila aku membangkang,
aku pasti dibuang.
Kalian yang kusayang teruslah berjuang.
Benar sayang akan terbuang,
jika membangkang yang tersayang.
Sungguh beribu sayang,
kau tak paham, Sayang.
Engkau sayang pemeran tersayang.
Sayang…
berkali-kali kudendangkan kau di telinga mereka.
Berkali-kali kugambarkan kau di mata mereka.
Sampai kini,
kau kekal jadi pemeran utama.
Aku tak pandai memuji,
tapi aku pandai menyimpul tali.
Kau tahu yang ada di hati?
Sungguh kau seorang diri.
Lekas aku menarik diri,
sebab sadar kau tak menyadari.
Sesuatu yang abstrak di dalam hati,
kau tuding tak berarti.
Aku di sini,
kau pergi.
Aku pergi,
kau tak menanti.
Kini apalah dayaku,
menanti seseorang yang tak pernah mengharap kehadiranku.
Sebuah kisah klasik yang menggambarkan kesetiaan yang tak berarti.
Ada masanya,
yang terpuja jadi tiada.
Yang tadinya tiada,
kini begitu dipuja.
Bait itu pernah ada untuk yang terpuja.
Namun kala ia tiada,
biar bait yang simpan cerita.
Biar bahasa menyimpan cerita tentang kita,
karena saat rasa kembali tak dapat dijaga,
kelak kulantangkan kecewa.
Bukankah itu tanda cinta?
Jika cinta dikoar rasanya,
dia bukan rasa yang terdalam.
Cukup didoakan agar terucap dari kelembutan.
Kali ini saja…
cinta mengucap selamat pagi,
untuk yang terkasih.

Ciputat, 25 November 2014

Cinta Tulang Ikan

Dihidangkan oleh: Fifi Luthfi AR, Anisa Rahayu, Arini H, Khusnul CTM, dan Sukmawati
Cinta tulang ikan bermula dari duri transparan
yang kemudian berkomplikasi antarlain organ
Apa kau tahu?
Jika tulang ikan bersemayam di tenggorokan namanya ketulangan,
tapi jika cinta bersemayam di dalam hati namanya kecintaan
Berbicara tentang cinta tulang ikan,
apa yang harus aku maknai?
Kesederhanaan tentang ungkapan cinta namun rumit merasakannya?
Tepat
Tentang sederhana dan kerumitan yang terjadi akibat cinta tulang ikan
Cinta tulang ikan,
rasa sesederhana bunyinya, tapi perih serumit rasanya
Ah memang, cinta sederhana diungkapkan
namun tidak untuk dirasakan
Seperti tulang ikan dipiring saji
Tawar
Namun harus dihabiskan
Melelahkan
Tersedak tulang ikan mungkin sama sakitnya
saat menahan cinta yang sudah sampai ditenggorokan
hendak diucap
Sama halnya ketika sudah menenggak air banyak-banyak,
tapi tak juga hilang
Malah meradang!
Butuh nasi agar tertelan dalam-dalam
Berbicara cinta tulang ikan
Biarlah, lebih baik saya tersenggak saja oleh tulang ikan itu,
lalu tak sadarkan diri,
hingga tak mengenal lagi apa itu cinta
Cinta tulang ikan
penyebab bait-bait sajak merinai
berkisah-kasih dalam-dalam
mengenai cinta dan perasaan
Jangan berhenti bersajak anak muda
karena tulang ikan masih belum habis di piring saji
serpihannya perlu diperhatikan
untuk menemukan makna cinta.

11 Oktober 2014

Selasa, 25 November 2014

Kau Tahu, Sayang.
Oleh, Fifi Luthfi AR

Kau tahu, sayang.
langit tak pernah dusta
diturunkannya hujan pada waktu pilu
kau tahu, sayang.
tanah tak pernah dusta
menyeruak baunya basah oleh rinai
kau tahu, sayang.
angin tak pernah dusta 
dihembuskan perlahan debu-debu didinding
dan kau tahu, sayang.
ada yang tak pernah dusta
dirasakannya hati rindu berseru.
kau tahu, sayang.

Jakarta, 24 November 2014

Selasa, 21 Oktober 2014


Puisi Mengadu
oleh, Fifi Luthfi AR

sejak waktu menuai kisah, sebagian deru tiada terdengar
sejak setitik rindu berdiam, sebagian lain terasa abu
sejak aku mencerca ragu, semakin hanyut dalam bisu

pada semesta yang menyimpan kisah lalu dalam-dalam
ketika bulir meluncur di ujung daun yang kemudian terjatuh tapi tak mengaduh
dari sepersekian kisah yang enggan ku tengok, tetapi menjadi pilu yang mengelabu

halnya bintang pada malam
matahari pada siang
temaram yang di tenggelamkan fajar
begitukah sesungguhnya?
perasaan!
sebagaimana aku tengah terkunci dalam
namun, bukan pada serambi dulu aku bersandar
yang katanya sejuk berdawai

segala ragu berbuih tatkala labium-nya memaki
tentang yang baru ku dapati, yang baru saja ku miliki
berbeda jauh dari pagi-pagi yang lalu

puisiku.. berbait terus mengadu

Rabu, 20 Agustus 2014



Prasangka
Oleh, Fifi Luthfi AR

Mendayu-dayu suara berseru
Berbahasa rindu tak cukup Satu
Melagu sudah tapi tak padu
Serasa sayu..

Kau berdiri diambang pintu
Nanar tatapanmu menelusup
Bibirmu ranum, gelagap berbahasa
Mengenai rasa! Tumpah segala prasangka
Kau dan dia..

Bekasi, Agustus 2014





Minggu, 13 Juli 2014



Rinai Hujan
Oleh, Fifi Luthfi AR

Rintik- rintik bisu
Meluruhkan segala benalu
Tertuah segala bulir melagu
Aku bersyair syahdu

Rinai Hujan II
Oleh, Fifi Luthfi AR

Riak air menyatu padu
Berbaris awan dilangit kelabu
Setiap denting waktu berlalu
Dedaunan bertahan di ranting kayu

Rinai Hujan III
Oleh, Fifi Luthfi AR

Bunga-bunga merekah lalu
Tergenang akar dalam riak
Kumbang bersajak, malam terpekur
Oh.. bungaku
bermekarlah ditanah kandung.

17 juli, 2014