Cahaya Bulan

Rabu, 21 Januari 2015



Rinai Jelang Petang
Oleh, Fifi Luthfi AR

Dalam bias warna yang ku renungi begitu lugu
Selasar halaman basah digenangi, riak beradu.
Bersamaan dengan rinai di peraduan rindu
Menyeruak aroma hujan pada siang menjelang petang

Dalam imajinasiku, kau menjelma awan
Tempat rinai bergemul dan kemudian turun
Dalam imajinasiku, aku menjelma tanah
Tempat rinai kembali pada asal
Kau menitik dan aku menengadah

Rinai siang menjelang petang
Aku sang cakrawala terbentang jauh
Rumput, padang, dan ilalang
Lekas bergoyang dengan senang
Pandangi air mata langit mencari butir tanah
Kemudian mahluk bertulang menentang hujan

Pada rinai jelang petang

Bekasi, 20 Januari 2015


Alat Musik
Oleh, Fifi Luthfi AR

Malam ini aku menjelma sebuah Gitar
Petiklah daku
Semarakkan malam-malam kelabu
Nyanyikan lagu dengan syahdu

Esok malam aku menjelma sebuah seruling
Tiuplah daku
Cipatakan melodi merdu
Mainkan dengan hati yang baru

Esok lusa aku menjelma sebuah drum
Pukul daku mengebu-gebu
Hentakan malam dengan ceria
bahaskan aku sebagai pelepas amarah

Akhir pekan aku menjelma sebuah piano
Letakan jemarimu menari padaku
Suarakan rindu melalui nada-nadaku
Buat lantai dansa diketuk sepatu para pecandu rindu

Bekasi, 20 Januari 2015

Minggu, 18 Januari 2015




Obat
Oleh, Fifi Luthfi AR

Pada suatu pagi menjelang siang
Semak, ranting, dan akar basah diguyuri airmata langit
Jemari lentik bermahkota cincin dijari manis sebelah kiri masih terus menelisik rona wajah dan tubuh jenjang yang biasa tersipu
Belum sempat si gadis bermandikan air kolam yang dingin menampar kulit, ia terus memetik aksara yang di jatuhkannya pada sebuah kertas putih selaras dengan baju berkerah putih yang ia kenakan.

Dibalik jendela, ia menilik rinai yang masih betah meresep kedalam tanah
Di telusurinya setiap jengakal sudut-sudut halaman depan rumah begitu leluasa
Rupanya ada seorang tabib yang menawarkan obat penyembuh macam-macam luka, berteduh dan singgah di saung tempat bercengkrama kanak-kanak sewaktu sore tiba.
Nampak berjejer racikan obat herbal butannya dalam sebuah tungku kayu yang diletakkannya di saung bambu beratapkan jerami.
Ia merangkul dengkul dengan lengannya yang basah sebab terbias rinai hujan, kemudian matanya secepat kilat menangkap siluet yang berbayang dibalik tirai. Dengan cekatan ia memikul tungku kayu dan menghampiri si gadis berbaju kerah putih
Ditawarinya macam-macam obat jualnnya
Ada obat luka bacok, luka tembak, luka panah, bahkan sampai penyakit semacam bisul, kutil, dan kurap-pun ada obat penyembuhnya.

Kemudian si gadis mengamati jejeran obat ditungku kayu sang penjual
Matanya bergerak lincah dari satu sudut ke sudut lain, mencari-cari sesuatu yang nampak belum ia temui.
Pak...
Sapa si gadis dengan tenang
Iya... ada apa dik? Jawab sang penjual
Bapa menjual macam-macam obat penyembuh luka ? Tanya si gadis.
Ya, tentu saja saya menjual. Adik ingin mencari obat luka apa ? biar saya bantu. Sang penjual menawarkan.
Obat luka hati ada pak ?
Hening

Bekasi, 19 Januari 2015







Jumat, 16 Januari 2015

Emosi Kopi


Diracik oleh: Fifi Luthfi AR, Anisa Rahayu, Arini H, Ferrara Ferro, dan Sukmawati

Secangkir kopi yang tak sengaja kutenggak ternyata bukan sekedar kopi. Rasanya tak hanya pahit, namun masam tertinggal di kerongkongan. Kopi rasa kemarin.
Kopi kemarin terasa manis karena ditenggak secangkir berdua dengan bibirmu. Namun rasanya cepat berubah secepat hilangnya pedulimu. Masam kini hilang kamu.
Ya, masam! Tak ada aroma menyeruak hangat. Sebab yang tersaji hanya secangkir kopi rasa kemarin. Tanpa gula, dan tanpa kamu sebagai pelengkap malam.
Asam di lambungku kini mulai naik. Ingin kumuntahkan kopi masam di tengah kejahanaman malam. Lalu kurauk muntahku dan kupoleskan padamu yang hanya diam.


Apa kau tak ingat cangkir terakhir yang kubuatkan? Takkan masam jika tak kau biarkan, tak kau abaikan.
Butiran serbuk kopi ketika diseduh, memberikan aroma yang khas dan aku ingin seperti butiran robusta. Apakah kau mengetahuinya?
Juga kafein yang menggoda pada malam, memaksa tak boleh terpejam. Sebab masih tersisa setengah cangkir kopi yang harus kau tenggak tapi tak ingin kau buang.
Kopi memang pahit, tapi bergitu nikmat jika diberi gula dan tentunya akan digemari. Begitupun kau selalu kugemari walau kutahu dalam kenyataan terasa (pahit).


Aroma kopi menyeruak ditengah gaduh dalam ruang menyelinap rongga hidung sampai tertengguk kerongkong, hangat dalam badan. Ya, secangkir kopi pada malam jahanam.
Malam itu kita berdua dengan secangkir kopi, pelukmu semakin erat tatkala malam semakin penat. Bibirmu menyentuh mulut cangkir dengan lembut, padahal hati menciut.
Sejujurnya aku khawatir, lakumu yang setiap saat mengambang di pelupuk mata esok hilang tanpa bilang.


Kopinya sengaja tak sehari habis, siapa tahu masih sama manis karena bibirmu yang aduhai manis. Tapi sungguh tragis, manisnya jadi masam seiring kau berubah jadi yang maha kejam.
Kendati kini cangkir itu tak lagi milik berdua. Kau pergi menyisakan sidik bibirmu di pinggir mulut cangkirnya. Bukan main masamnya, aku jadi hilang selera.
Bila boleh pengandaianku, kuandaikan senyatanya inginku berhentikan waktu saat di mana aku menggigil, lalu kau peluk ditemani secangkir kopi untuk menghangatkan.
Dan kendati cangkirku tak lagi dipenuhi kopi racikanmu, kuandaikan malam itu bahumu sejajar membersamaiku. Kubayangkan wajahmu dalam cangkir kopiku.
Kopi kemarin yang aku sajikan sudah pasti masam rasanya. Tak enak. Sudah cukup kau berandai, tak baik pengandaianmu. Hanya tergadai!


Aku ingin secangkir kopi terakhir malam itu. Ya, kopi robusta yang kau racik nikmat tiada tandingan. Oh sungguh, bualan kopi terus saja memanjakanku pada malam.
Secangkir kopi perempuan jahanam pada malam jahanam untuk laki-laki jahanam tuntas kuseruput habis.


30 Desember 2014

Semogaku 

 

Dimohonkan oleh: Fifi Luthfi AR, Anisa Rahayu, Arini H, Ferrara Ferro, dan Sukmawati
 
Sekali ini kuucapkan cinta padamu; semogaku. Namun, takut sendirinya menyarang, masihkah kau selembut dulu? Seperti ketika tatap belum berani mengharap?
Semogaku; di setiap tatap menyelinap harap yang lama mengendap dan tak pernah sepatahpun terucap. Saat senyap aku berharap kau ada, berhadap dan mendekap.
Pada senja, kau terbayang di pelupuk mata. Dalam buai, harapku melabuhkan rindu padamu semogaku yang senantiasa diaminkan malaikat malam yang bercengkrama.
Kepada semogaku; merasakan jatuh yang tak sakit pada tatap pertama peraduan mata, sejak itu kau hadir, membuktikan kuasa Tuhan menghadirkanmu sebagai takdir.
Aku diam didekap malam, pada rindu yang baru saja tersampaikan sebab kau pulungi celotehku begitu tenang. Sejurus ada yang diam-diam jatuh. Jatuh cinta.
Kehanyaan padamu dihaturkan rasa yang begitu agung, sampai pada satu titik, tak lagi kutemukan belahan dari rasa itu. Tetap padamu, kehanyaan satu.
Sekali ini kuberanikan menangkap bola mata yang teduh mengusik sukma. Segaris senyum simpul yang selaras dengan rona wajah sendu. Aku, jatuh cinta.
Teruntuk yang selalu kusemogakan dalam doa; biarlah kuselalu jadi pengagum rahasia.

30 Desember 2014

Sabtu, 10 Januari 2015



Kopi Robusta Dusta

Oleh, Fifi Luthfi AR

Secangkir kopi robusta yang kau buat dimalam dusta
Pahit dan masam
Bukan karena tanpa gula
Sebab kau berdusta saat meracik robusta

Secangkir kopi malam dusta
Diracik oleh laki-laki tanpa dosa
Katanya
Robusta berlebel dusta

Secangkir kopi robusta dimalam penuh dusta
Menyeruak tajam aroma dusta
Ku hirup dalam-dalam
Kunikmati, ku seruput meski masam
Ku habiskan


Ya..
Secangkir kopi dusta robusta pada malam penuh dusta

Bekasi, 9 Januari 2015



98

Oleh, Fifi Luthfi AR

Malam ini aku ingin bergurau mesra bersama papan aksara
Dan jemari yang lincah menari diatasnya
Bersama aroma secangkir kopi
Yang mencabik kulit

Kau kekasihku, ku tulis dalam derita 98
Dalam 10 lembar kertas putih yang ingin ku tumpahi tinta
Jemariku terhenti menari pada batas ke-8
Belum sampai pada titik

Kekasihku yang ku abadikan dalam derita 98
Aku masih terlungkup diatas papan ketik
Dan kau masih sanggup ku telisik
Sampai kafein tak sanggup membunuh kantuk

Bekasi, 3 Januari 2015